Oleh: Vincentia Regina Sina (XD)
Pagi itu, langit tampak cerah di kota kecil tempat sekolah Dimas berada. Ia dan teman-temannya berbaris rapi di depan gerbang Taman Makam Pahlawan, membawa bunga yang sudah mereka siapkan sejak kemarin. Suasana hening dan khidmat menyelimuti tempat itu. Guru mereka, Pak Andi, berdiri di depan barisan dan berbicara dengan suara pelan namun penuh makna.
“Anak-anak, hari ini kita tidak hanya menabur bunga. Kita datang untuk mengingat jasa orang-orang yang membuat kita bisa berdiri bebas di tanah ini.” Mendengar itu, Dimas menunduk dalam diam. Ia melangkah perlahan di antara deretan nisan yang berbaris rapi. Pandangannya berhenti pada satu batu nisan yang tampak sederhana, dengan tulisan: Letnan Satu Raden Surya – Gugur 1947. Ia membaca nama itu berulang kali, lalu berbisik lirih,
“Sudah lama sekali, Pak…”
Pak Andi yang berdiri tak jauh darinya menoleh dan tersenyum kecil.
“Ya, Dimas. Bahkan mungkin orang tuamu pun belum lahir waktu itu. Tapi tanpa mereka, kita tidak akan bisa hidup damai seperti sekarang.”
Dimas terdiam. Ia mencoba membayangkan masa perjuangan itu suara tembakan, pasukan yang berjalan kaki di tengah medan perang, bendera yang tetap berkibar meski dikelilingi asap dan api. Semua terasa jauh dari kehidupannya sekarang, namun anehnya terasa begitu dekat di hati. Ada rasa haru dan kagum yang perlahan tumbuh di dadanya.
Ia kemudian menunduk, meletakkan bunga melati di atas nisan itu dengan hati-hati. Angin berhembus lembut, membawa aroma wangi bunga yang menenangkan. Dalam hatinya, Dimas berjanji, “Aku mungkin tidak berperang seperti mereka, tapi aku akan menjaga negeri ini dengan caraku, belajar dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan jujur, dan mencintai tanah airku sepenuh hati.”
Ketika rombongan sekolah mulai meninggalkan makam, Dimas menoleh sekali lagi. Sinar matahari pagi memantul di atas batu nisan Letnan Surya, membuatnya tampak berkilau. Ia merasa seolah sang pahlawan sedang tersenyum bukan karena dikenang, tetapi karena pengorbanannya tidak sia-sia.
Dimas melangkah pergi dengan hati yang ringan dan penuh tekad. Ia tahu, perjuangan belum berakhir hanya berubah bentuk. Kini, tugasnya adalah meneruskan semangat para pahlawan itu, dengan cara sederhana namun bermakna: mencintai negeri yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.












