Di puncak bukit Golgota, terik mentari membakar kulit Yesus. TubuhNya yang lemah menanggung beban kayu salib yang berat, setiap langkah terasa menusuk. Air mata bercampur keringat mengalir di wajahNya yang pucat. Ini bukan sekadar rasa sakit fisik; ini adalah kesengsaraan yang melampaui batas manusia.
Konflik dimulai sejak awal perjalananNya menuju bukit itu. Ejekan, cemoohan, dan pukulan terus menerus menghujaniNya. Para prajurit Romawi, tanpa belas kasihan, memperlakukanNya seperti binatang.
Rasa sakit yang luar biasa itu tak sebanding dengan beban dosa umat manusia yang dipikulNya. Ia merasakan seluruh kepedihan, pengkhianatan, dan kekejaman dunia terhimpun dalam diriNya.
Di tengah penderitaan yang tak terkira, Yesus merasakan kesepian yang mendalam. Para muridNya telah meninggalkanNya, bahkan Petrus, yang pernah berjanji akan setia, telah menyangkalNya.
Hanya kesunyian dan rasa sakit yang menemaniNya. Namun, di tengah keputusasaan itu, secercah harapan masih menyala. Ia mengingat janji Bapa, pengorbananNya akan menyelamatkan dunia.
Saat dipaku di kayu salib, rasa sakit mencapai puncaknya. TubuhNya bergetar, nafasNya tersengal-sengal. Namun, di tengah penderitaan yang luar biasa itu, Yesus tetap berdoa, memohon pengampunan bagi mereka yang menyalibkanNya. “Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Kemudian, terjadilah keajaiban. Setelah mengucapkan kata-kata terakhir, Yesus menghembuskan nafas terakhirnya. Langit menjadi gelap gulita, bumi berguncang, dan tirai Bait Suci terbelah.
Meskipun kematian telah merenggutNya, pengorbanan Yesus telah menyelesaikan konflik antara manusia dan Tuhan. Ia telah menanggung beban dosa umat manusia, membuka jalan menuju keselamatan dan pengampunan. KesengsaraanNya telah menjadi kemenangan bagi umat manusia.














