Oleh: Katarina Matilda Aryani (XC)
Di sebuah sekolah kecil di pinggiran kota Kupang, seorang siswi bernama Laras tengah mempersiapkan diri untuk lomba pidato Hari Sumpah Pemuda. Tema tahun ini adalah “Bahasa Berdaulat, Indonesia Maju.”
Setiap hari, Laras berlatih di depan cermin. Ia ingin sekali membanggakan sekolahnya. Namun, teman-temannya sering menggoda, “Ngapain sih susah-susah latihan pidato bahasa Indonesia? Kan kita bisa pakai bahasa daerah aja!”
Laras tersenyum. Ia juga mencintai bahasa daerahnya—bahasa Dawan yang sering ia pakai di rumah tapi ia tahu bahwa bahasa Indonesia punya peran besar dalam mempersatukan semua orang dari Sabang sampai Merauke.
Suatu hari, guru Bahasa Indonesia, Bu Ratna, datang dan berkata, “Laras, kamu tahu kenapa kita harus menjunjung bahasa Indonesia?” Laras menggeleng. “Karena bahasa adalah cermin bangsa. Kalau kita bisa menjaga bahasa sendiri, berarti kita menghormati jati diri Indonesia. Bahasa Indonesia bukan sekadar alat bicara, tapi jembatan antara semua suku di negeri ini.”
Kata-kata itu menancap di hati Laras. Malam itu, ia menulis ulang naskah pidatonya. Ia menulis dengan penuh semangat: “Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mempersatukan kita! Dari Aceh hingga Papua, dari Nusa Tenggara hingga Kalimantan, semua bisa saling memahami karena satu bahasa: Bahasa Indonesia. Inilah bukti kedaulatan kita sebagai bangsa yang maju, tanpa kehilangan akar budaya daerah!”
Hari lomba pun tiba. Laras berdiri di atas panggung, suaranya bergetar namun tegas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya mengalir dengan percaya diri. Para juri tersenyum, dan teman-temannya yang dulu mengejek kini bertepuk tangan bangga.
Setelah lomba selesai, Bu Ratna memeluk Laras dan berkata, “Kamu sudah membuktikan, Nak. Ketika bahasa kita berdaulat, bangsa kita pun maju.” Laras tersenyum haru. Ia menyadari satu hal: bahasa bukan sekadar kata-kata, tapi identitas, kekuatan, dan semangat Indonesia yang tak akan pernah pudar.












