wartaSAJ.com – “Yang sederhana itu sulit, karena itu sederhana itu berkualitas” kata-kata ini berasal dari Pater Leo Kleden dalam salah satu kesempatan di kelas pada tahun 2007, waktu saya masih sebagai Frater di Ledalero. Bangun pagi jam 5 misalnya, itu sederhana dan sulit, lanjut Pater Leo memberikan salah satu contoh. Yesus sedang lahir di hati kita dan di hati semua orang yang berkendak baik. Natal itu perayaan sederhana. Yang membuat Natal itu berkualitas justru karena perayaan itu sederhana. Umat di stasi Leohitu telah merayakan Natal dalam kesederhanaan. Rasa natal itu seperti makan beberapa potongan ubi talas, sambil seruput kopi.
Oleh:
Pater Aris Wawo Koa, SVD
(Kepala SMA Santo Arnoldus Janssen Kupang)
Bertempat di rumah makan pastoran Balibo, kami mendengarkan tentang jadwal misa di beberapa stasi sambil menikmati makan malam bersama di malam pertama, 23 Desember 2023. Berdasarkan jadwal, saya merayakan Natal dan tahun Baru di Leohitu. Mendengar Leohitu, saya penasaran. “Seperti apa leohitu itu”? Tanya saya dalam hati.
Pagi menjemput! aktivitas pagi kami adalah mempersiapkan diri untuk berdoa dan sarapan. Beberapa waktu menjelang perayaan Malam Natal, saya membaca beberapa penjelasan tentang bacaan-bacaan Ekaristi malam Natal.
Menjelang malam, tepatnya pukul 19,30 waktu setempat, bersama dengan Br. Dery Fobia dan Suster Alves, PRR menuju Leohitu dengan sebuah mobil pick up putih bermerk carry. Stasi Leohitu berada di bagian Selatan Paroki Balibo. Jalannya belum diaspal, masih berbatu-batu dicampur tanah putih, licin pada musim hujan, yang membuat para pengendara berhati-hati melintasinya. Perjalanan ditempuh 25 menit.
Tidak jauh, tapi cukup menakutkan, karena harus melintasi hutan tanpa lampu jalan. Kami tidak menemukan seorang pun yang melintasi jalan itu. Di kiri dan kanan jalan ada hutan dan jurang, ada juga kolam yang airnya lagi surut. Tentu saja, menakutkan pada malam hari.
Kami tiba di sana, pada pukul 19.55 waktu setempat. Ada umat yang sedang menunggu. Beberapa katekis sedang menunggu di depan pintu pastoran. Mereka menyambut ramah. Ketiga orang tua itu adalah seorang guru dan yang lain petani.
Kami dipersilahkan masuk dan duduk. Di meja, ada beberapa piring yang berisi ubi talas dan beberapa cangkir kopi dan the hangat. Kami dipersilahkan menikmati suguhan ala umat Leohitu.
Ketika mencicipi ubi talas, saya ingat kampung halaman. Sudah setahun lebih saya tidak pulang kampung. Ubi talas adalah salah satu makanan kesukaan kami pada waktu liburan di rumah. Beberapa kali, ayah mengirimkan ubi ini ke kupang. Nikmat benar, jika ditemani kopi Bajawa dan Timor Leste.
Di ruangan yang kecil itu kami berkisah. Seorang katekis tanpa pernah ditanya mulai bercerita tentang stasi Leohitu. “Gedung gereja dan pastoran di stasi ini dibangun oleh Pater Yohanes Suban Tapun, SVD pada tahun 1992”. Katanya dengan lugas.
“Pada masa kepemimpinnya, Pastor berpostur pendek dan semampai ini dikenal sebagai Pastor Pembangun. Ia mengajak umat untuk membangun Gereja dan Pastoran secara swadaya. Yang menarik dari kisah bersama Pastor John, adalah ketika selesai bekerja, pastor selalu menyuguhi makanan dan minuman secukupnya.
Minuman produk lokal dan nonlokal disiapkannya dalam jumlah yang cukup. Alhasil beberapa umat harus tertidur pulas setelah menikmati minuman-minuman itu”, kenangnya sambil tersenyum. Pater John, sapaan akrabnya pernah menjadi regional untuk region Timor Leste.
Gereja Leohitu berada di sebuah bukit, di sekitarnya adalah rumah-rumah warga. Mayoritas warga di desa itu adalah petani, sedikit guru dan pengusaha ikan air tawar. Di belakang pastoran ada beberapa kolam ikan air tawar dalam jumlah 50-an.
Demikian penjelasan tambahan katekis itu. Setelah bercerita sebentar tentang Pater John dan situasi masyarakat Leohitu, saya ke luar menikmati suasana malam di bukit itu.
Saya melihat umat mulai mendatangi dan memenuhi gereja. Seorang ajuda mendatangi saya dan mengatakan umat sudah banyak. Tanpa diskusi dengan para katekis, saya mempersiapkan diri. Kami mulai merayakan Ekaristi pada pukul 20.30 waktu setempat.
Upacara yang berlangsung khidmat dengan nyanyian-nyanyian merdu tanpa musik, sungguh-sungguh menginspirasi saya.
Natal di Leohitu memberikan inspirasi untuk membangun dan mencintai hal-hal sederhana dalam hidup. Misalnya, membuang sampah pada tempatnya. Di sana saya tidak menemukan sampah berserakan.
Yesus lahir dalam hati dan pikiran umat di stasi ini dengan cara-cara sederhana yang berkualitas.
“Yang sederhana itu sulit, karena itu sederhana itu berkualitas” kata-kata ini berasal dari Pater Leo Kleden dalam salah satu kesempatan di kelas pada tahun 2007, waktu saya masih sebagai Frater di Ledalero.
Bangun pagi jam 5 misalnya, itu sederhana dan sulit, lanjut Pater Leo memberikan salah satu contoh.
Yesus sedang lahir di hati kita dan di hati semua orang yang berkendak baik. Natal itu perayaan sederhana. Yang membuat Natal itu berkualitas justru karena perayaan itu sederhana.
Umat di stasi Leohitu telah merayakan Natal dalam kesederhanaan. Rasa natal itu seperti makan beberapa potongan ubi talas, sambil seruput kopi.
Semoga natal itu menggembirakan! (*)