WartaSAJ||Warung bu Rukiah, selalu menjadi tempat favorit ibu-ibu rempong untuk berkumpul. Tak ada soal lain yang mereka bahas di tempat itu selain menggosip namaku. Tatapan sindir dan mulut yang terus bergerak, membuatku tidak nyaman untuk menatap wajah mereka yang mirip nenek sihir.
Kenapa mereka senang menggosip namaku Mo? Tanyaku pada Darmo ketika penyakit darah tinggiku mulai kumat.
****
“Sabar Le, orang sabar pasti disayang Tuhan.”
“Bagaimana mungkin kau menyuruhku sabar Mo, sementara namaku sudah difitnah oleh ibu-ibu rempong itu.”
“Itu-kan Cuma nama Le”
“Mo! nama adalah tanda pengenal diri. Kalau sampai warga kampung mempercayai gosip ibu-ibu rempong itu, pasti mereka akan membenciku, dan yang jelas hubungan asmaraku dengan Bunga akan kandas.”
“Meskipun begitu, kamu harus sabar Le, karena Tuhan mengajarkan kepada kita, untuk selalu sabar menghadapi setiap masalah.”
“Aku ini manusia biasa Mo, ya wajar-wajar sajalah kalau aku marah. Memangnya kamu tidak pernah marah Mo?”
“Pernah Le, tapi aku tidak suka kau memarahi ibu-ibu itu.”
“Sudahlah Mo, lebih baik kau pulang. Aku sudah muak mendengar nasihatmu.”
Darmo adalah salah satu temanku yang paling saleh. Dia sangat berbeda denganku. Aku tak pernah bermaksud menolak nasihat Darmo, apalagi membencinya. Namun demi Tuhan, aku benar-benar tidak suka pada ibu-ibu rempong itu. Mereka sering menjelek-jelekan namaku. Mereka sering mengaitkan model kehidupanku dengan tipikal buruk. Aku pernah mendengarnya sendiri, mereka bilang aku anak nakal, pemalas, dan tidak bisa diandalkan oleh orang tua. Mereka tidak sadar bahwa mulut mereka juga nakal, karena terlalu sering menggosip nama orang. Aku benci ibu-ibu rempong itu, gara-gara mereka, hubunganku dengan Bunga kandas di tengah romantisme. Orang tua Bunga mempercayai gosip ibu-ibu rempong itu, mereka bilang aku anak nakal, tidak pantas berpacaran dengan anak saleh seperti Bunga. Aku masih mencintai Bunga, demikian pula Bunga masih mencintaiku. Tapi atas nama cinta, aku rela melepaskannya dengan kecupan duka. Aku tak ingin nama bidadari itu, dicemari oleh kekejian mulut ibu-ibu rempong itu. Maka biarlah kisah kami berakhir disini. Aku tak mau Bunga disakiti, karena kegoisanku dalam mencintainya.
****
Mulut ibu-ibu rempong itu tak pernah lelah mencibir namaku. Aku terus disandra oleh kebengisan kata, yang mereka lontarkan dalam rupa cibiran. Hubunganku dengan Bunga, dipisahkan oleh tembok keji, yang berwujud mulut ibu-ibu rempong. Mereka terus membanding-bandingkan diriku dengan pria-pria berjas. Katanya pria berjas punya banyak uang, penampilan oke, dan punya perut buncit tanda bahwa mereka adalah orang yang makmur. Sementara aku adalah pria kere, punya penampilan norak dan berbadan kurus. Aku tak terlalu mempersoalkan cibiran-cibiran bodoh itu, karena kenyataanya hidupku lebih aman dan lebih bebas dari pria-pria berjas yang sangat munafik itu. Sekalipun aku tak sekolah, toh aku tahu bahwa pria-pria berjas itu, berbadan gemuk karena terlalu banyak memakan uang rakyat.
****
Pagi-pagi buta sebelum matahari terbit, beberapa ibu rempong datang ke rumahku. Dengan mulut dipenuhi sirih pinang, seorang ibu berseru “Le, sekarang kamu harus ke balai desa, karena kamu telah mencuri barang dari warung bu Rukiah malam tadi.”
“Ya Tuhan.. mana mungkin aku mencuri” timpalku dengan nada gemetar..
“Ahh.. kamu mengaku saja, Darmo yang melihat kau pergi mencuri tadi malam”
Tak kuasa menahan emosi, kutemui Darmo pagi itu, dan bertanya padanya..
“Mo.. katanya kau menuduhku mencuri di warung bu Rukiah malam tadi?”
Dengan penuh sesal Darmo menimpal “Maafkan aku Le.. aku sengaja melakukan semua itu, agar semua orang di kampung ini membencimu, dan hubungan asmaramu dengan Bunga, berakhir!!”
“Sialan kau Mo.. ternyata kaulah yang suka menyebar berita-berita buruk tentangku”