Rumah kami di lereng sebuah bukit, yang kalau malam terasa sangat sunyi, sesekali hanya ada angin seperti bisikan masuk melewati jendela-jendela rumah kayu tua, saat musim hujan angin membawa aroma tanah basah dan harum bunga melati dari taman belakang.
Tapi aroma itu tak mampu mengusir kesunyian malam dan aku rasa seperti sesuatu mencekik leher dan mencengkeram hatiku; ini semua terjadi selepas kepergian Ayah. Waktu itu, aku baru tujuh tahun, dan Ayahku, seorang prajurit, gugur dalam tugas negara.
Saat-saat sendiri, Aku masih ingat seragamnya yang rapi ia kenakan, aroma parfumnya yang maskulin, dan senyumnya yang selalu menenangkan. Biasanya Ayah selalu bercerita tentang tugasnya sebagai tentara, ia bercerita tentang langit biru yang luas dan tentang matahari terbenam yang indah di tempat tugasnya.
Bahkan pada suatu hari, ia berjanji akan membawaku melihat tempat itu. “suatu hari nanti, kita ke sana” Janji itu kini seperti tuguh di kotaku. Saat dengar berita kepergian ayah, aku seperti pohon kelapa di sambar petir. kering dari akar sampai pucuk daun.
Ibu memelukku erat, air matanya membasahi pundakku. Aku tak mengerti apa yang terjadi, hanya merasakan, macam tulang ikan tersangkut di leherku, ada sesak juga di dada dan ketakutanku membuncah. Dan hingga saat ini kata-kata “tugas negara” Yang saya dengar itu seperti desing peluru, menakutkan!
Setelah pemakaman ayah, Ibu selalu jadi pohon yang tegar di setiap musim. Di dapur, Ia memasak makanan kesukaanku, di kamar mandi, ia mencuci pakayanku, sesekali kulihat matanya sembab dan tangannya gemetar di kamar.
Ibu punya kebiasaan baru selepas ayah pergi–Ia membacakan dongeng buatku sebelum tidur, adakalanya cerita dongeng membuat suaranya bergetar menahan isak. Tapi aku tahu, di balik senyumnya yang dipaksakan, tersimpan kesedihan yang seperti lorong yang amat dalam.
Malam-malam, aku sering melihat Ibu duduk di beranda, menatap langit malam yang bertaburan bintang. Aku ingin bertanya, ingin menghiburnya, tapi aku tak tahu harus berkata apa. “Ayahmu, tinggal di salah satu bintang di langit” Kata ibu. Aku lalu memeluknya erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang sedikit menggetarkan.
Suatu hari, Ibu menunjukkan sebuah kotak kayu tua. Di dalamnya, terdapat foto-foto Ayah dan surat-surat dan sebuah medali kehormatan. Ibu bercerita tentang Ayah, tentang kebaikan hatinya, tentang keberaniannya, dan tentang cintanya pada kami.
Tapi kisah-kisah itu selalu membuat air mata ibu, mata air jernih,mengalir, menyentuh pipinya, menyentuh bantal, menyentuh sprei. “Ayah selalu mencintaimu, sayang,” bisik Ibu, suaranya terbata-bata. “Ia adalah bintang dan hatimu langit malam.”
Aku memeluk Ibu erat-erat. Di tengah tangis kami, aku merasa lebih dekat dengan Ibu, lebih mengerti kesedihannya. Aku menyadari bahwa Ibu adalah rumpun bambu yang akar-akarnya kuat, yang tak pernah patah diterpa angin. Melewati badai, aku, akan selalu ada untuknya.
Kami akan selalu bersama, melewati jalan yang jauh; kesedihan hanyalah tikungan kecil. Kami melintasinya dengan pelan dan mata tetap awas.