Example 728x250
Example floating
Example floating
Cerpen

KEMBALI PULANG

213
×

KEMBALI PULANG

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Di bawah langit senja yang memerah, Bima berjalan menyusuri jalan setapak di desa kelahirannya. Langkahnya lelah, namun hatinya penuh harap. Bertahun-tahun dia bekerja di kota, meninggalkan istri dan anaknya demi kehidupan yang lebih baik. Namun setiap kali matahari terbenam di balik gedung-gedung tinggi, rasa rindu menyergapnya, menyesakkan dada. Suara anaknya selalu terngiang di telinganya, seakan memanggilnya pulang.

Sembilan tahun sudah Bima bekerja sebagai buruh di kota. Semula, ia yakin bahwa perantauannya akan membawa perubahan besar bagi keluarganya. Ia tak ingin anaknya mengalami nasib yang sama seperti dirinya, lahir dan tumbuh dalam kesulitan. Setiap hari, ia mengirim uang kepada Dina, istrinya, agar anak mereka bisa sekolah dan kebutuhan hidup mereka di desa terpenuhi. Namun, jarak yang jauh dan keterbatasan waktu membuat Bima jarang berhubungan dengan mereka.

Example 300250

Di kota, hidup tak mudah. Beban kerja yang berat, gaji yang tak seberapa, serta persaingan keras membuat Bima sering merasa terjebak. Hari demi hari dilaluinya dengan penuh pengorbanan, namun selalu ada rasa khawatir di hatinya

Setiap kali ia mengingat senyum cantika, hatinya remuk. Ia masih ingat jelas hari terakhir sebelum ia pergi, saat Cantika yang masih berusia enam tahun menangis memeluk dirinya. “Papa jangan pergi,” rengek Cantika, tapi Bima tetap harus meninggalkan mereka. Kala itu, ia berpikir bahwa pengorbanan ini hanya sementara, dan mereka akan kembali bersatu dengan kehidupan yang lebih baik.

Namun, waktu terus berlalu. Cantika sudah menginjak usia 15 tahun, dan Bima masih berada di tempat yang sama, bekerja tanpa jeda, tanpa kesempatan untuk pulang. Setiap kali menelepon, suaranya terasa asing di telinga Cantika. Seolah mereka bukan lagi keluarga yang dulu selalu tertawa bersama di sore hari di halaman rumah.

Hingga suatu malam, di tengah lelahnya, Bima menerima pesan dari Dina. “Cantika tanya, kapan papa pulang?” Sebuah pesan singkat yang membuat jantungnya berhenti sejenak. Ia terdiam lama, menatap layar ponselnya.

Malam itu, Bima tidak tidur. Ia berpikir keras, merenung, dan akhirnya mengambil keputusan. Besoknya, tanpa ragu, ia mengajukan pengunduran diri. Tak peduli berapa banyak yang sudah ia tinggalkan di kota, ia sadar bahwa keluarganya adalah segalanya.

Kini, setelah sembilan tahun, Bima akhirnya pulang. Saat ia tiba di depan rumahnya yang sederhana, matanya berkaca-kaca. Dari kejauhan, ia melihat seorang anak perempuan berlari ke arahnya. Cantika. Anak itu tumbuh lebih besar dari yang ia bayangkan, namun senyumnya masih sama, polos dan penuh harap. Di belakangnya, Dina berdiri dengan senyum yang tak pernah ia lupakan.

“Cantikaa” Bima berjongkok, memeluk anaknya erat, seolah ingin menggantikan semua waktu yang hilang. Air mata tak terbendung lagi. Dina menghampiri, lalu memeluk mereka berdua. Tak ada kata yang terucap, hanya kehangatan yang memenuhi hati mereka.

Di bawah langit senja yang kini berubah menjadi malam, Bima sadar, bahwa tak ada kekayaan yang lebih berharga dari keluarga. Sesulit apa pun perjuangannya di kota, rumah ini adalah tempatnya kembali pulang, tempat di mana ia selalu dicintai tanpa syarat.

Di sela isak tangis kecil Cantika, Bima berbisik, “Papa pulang. Dan papa tak akan pergi lagi.”

Example floating

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

WartaSAJ||Warung bu Rukiah, selalu menjadi tempat favorit ibu-ibu…