Example 700x300
Example floating
Example floating
Esai

Sepak Bola dan Solidaritas Sosial

402
×

Sepak Bola dan Solidaritas Sosial

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Turnamen El Tari Memorial Cup XXXIII telah usai, dengan Tim Bintang Timur Atambua (BTA) keluar sebagai juara. Euforia dari para suporter mungkin masih terekam di benak masyarakat NTT, terutama saat menyaksikan laga final antara BTA dan PERSEBATA Lembata di Stadion Gelora Oepoi Kupang.

Ribuan orang memadati stadion, rela berdesakan dalam antrean panjang, memenuhi tribun, hingga meluber ke pinggir lapangan. Dengan penuh semangat, mereka mengenakan atribut tim kesayangan dan menyanyikan yel-yel tanpa henti.

Example 300250

Sekalipun Panitia penyelenggara ETMC XXXIII, menyiarkan pertandingan melalui kanal YouTube, masih banyak orang yang memilih hadir langsung di stadion, meskipun harus berdiri berjam-jam dan menghadapi ketidaknyamanan.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa, di era yang disebut semakin individualistis ini, manusia masih mencari pengalaman kolektif seperti menonton langsung di stadion?

Mengapa mereka rela mengorbankan kenyamanan demi atmosfer kebersamaan? Apakah ini bukti bahwa manusia tetap makhluk sosial? Atau ada alasan lain yang membuat mereka bertahan dalam situasi yang tidak nyaman?

Kebersamaan dalam Perspektif Filsafat

Martin Heidegger, dalam konsep Mitsein (being-with), sebagaimana dijelaskan oleh Simon Pedro Pitang dalam Jurnal Filsafat Indonesia (2024), menegaskan bahwa manusia tidak bisa lepas dari keberadaan bersama orang lain. Makna hidup ditemukan dalam keterhubungan sosial. Keputusan bertahan dalam keramaian, meski tidak nyaman, mencerminkan kebutuhan manusia untuk merasa terhubung.

Di stadion, individu tidak sekadar hadir, tetapi juga merasakan kebersamaan yang sulit didapat jika menonton sendiri di rumah. Kekompakan dalam menyanyikan yel-yel dan menciptakan koreografi adalah wujud nyata dari keterhubungan tersebut.

Sementara itu, Emile Durkheim, dalam teori solidaritas sosialnya, menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, hubungan manusia tidak hanya didasarkan pada kedekatan fisik, tetapi juga pada kesadaran kolektif (Tamhrin Fathoni, Journal of Community Development and Disaster Management, 2024).

Sepak bola menjadi simbol solidaritas itu. Ketika suporter menyanyikan lagu kebanggaan tim, mengibarkan bendera, atau bahkan menangis bersama dalam satu emosi yang sama, mereka mengalami apa yang disebut Durkheim sebagai kesadaran kolektif—perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, komunitas yang memberi makna pada identitas mereka.

Manusia: Sosial atau Individualis?

Dunia modern sering digambarkan semakin individualistis. Teknologi, media sosial, dan gaya hidup perkotaan telah menggeser banyak interaksi sosial ke ruang digital. Namun, fenomena suporter sepak bola menunjukkan bahwa meskipun manusia memiliki pilihan untuk hidup individualistis, mereka tetap mencari ruang untuk berkumpul, berbagi emosi, dan merasakan kebersamaan secara nyata.

Meskipun kenyamanan menonton dari rumah tersedia, banyak orang tetap memilih hadir di stadion. Bukan sekadar menonton pertandingan, melainkan merasakan atmosfer kebersamaan, energi kolektif, dan momen emosional yang tak tergantikan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mencari interaksi sosial yang lebih dari sekadar komunikasi virtual.

Dengan demikian, konsep manusia sebagai makhluk sosial tetap relevan. Fenomena suporter sepak bola menjadi salah satu bukti bahwa di tengah arus individualisme yang semakin kuat, manusia tetap dan akan selalu mencari kebersamaan serta makna dalam interaksi sosial.

Di balik sorak-sorai di stadion, di tengah ribuan orang yang menyanyikan yel-yel dengan penuh semangat, kita melihat sifat dasar manusia: bahwa kita tidak pernah benar-benar sendiri dan bahwa dalam kebersamaanlah kita menemukan makna lebih dalam tentang keberadaan kita.

Kesadaran seperti ini, boleh jadi dapat membantu kita untuk memahami pentingnya keberadaan “Yang Lain” dalam hidup kita. Sepak bola bukan sekadar permainan, melainkan ritual kolektif yang mengikat individu dalam satu kesatuan emosional yang mendalam.

Example floating

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Esai

Membaca adalah kebiasaan penuh hikmah yang membawa kita ke dalam perjalanan melintasi dunia tak terbatas melalui halaman-halaman tulisan. Dalam esai ini, kita akan menjelajahi urgensi dan keindahan dari kebiasaan membaca serta mengungkapkan alasan mengapa kita harus merangkulnya dalam kehidupan sehari-hari.

Esai

Selembar kertas usang ini mengajak kita untuk merenung. Kita bisa lebih menghargai betapa berharganya momen-momen kecil yang pernah kita alami. Setiap halamannya mungkin saja menyimpan sejuta rasa, percikan kenangan, dan kepingan harapan. Kita semua bisa belajar darinya, bahwa meski rentan terlupakan, sebuah selembar kertas usang tetap berharga, sama seperti kita yang terus menyusuri kehidupan ini.