Example 700x300
Example floating
Example floating
Cerpen

Maria dan Langit Harvard (Refleksi tentang Perjalanan Hidup)

281
×

Maria dan Langit Harvard (Refleksi tentang Perjalanan Hidup)

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ino Loe

“Anak petani tidak mungkin sampai Harvard.”
Kalimat itu meluncur dari bibir seorang guru dengan nada getir—bukan untuk menghina, tetapi untuk menyadarkan. Namun bagi Maria, kata tidak mungkin justru menjadi bahan bakar hidupnya.

Example 300250

Malam itu, di rumah bambu di pinggir ladang jagung, Maria menatap langit. Tak ada listrik, hanya cahaya bintang yang seolah berkedip menantangnya. Di tangannya, sebuah buku lusuh berjudul “Pendidikan untuk Rakyat” — satu-satunya buku pemberian gurunya yang paling percaya padanya. Dalam hati ia berjanji: “Kalau dunia tidak membuka jalan, aku akan menapaki tanah sampai jalanku sendiri terbuka.”

Sejak kecil Maria tahu rasanya lapar, tahu bagaimana menulis dengan pensil yang tinggal separuh, dan tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang sering ditertawakan karena “terlalu rajin belajar.” Ibunya menjual pisang di pasar, ayahnya menanam jagung di tanah berbatu. Sekolahnya berdinding papan, tapi di sanalah ia pertama kali jatuh cinta pada kata belajar.

Setiap kali hujan mengguyur desa dan atap rumahnya bocor, Maria menulis di halaman belakang buku tulisnya: “Satu hari, aku akan belajar di tempat di mana langitnya dipenuhi buku, bukan bintang.”

Waktu bergulir. Ia diterima di universitas negeri di Jawa dengan beasiswa. Dari desa Fatuleu ke Surakarta, ia menempuh tiga hari perjalanan. Dunia kampus memberinya kejutan: teman-temannya berbicara tentang ponsel terbaru dan perjalanan ke luar negeri, sementara ia menghitung uang untuk makan. Ia tidak iri, hanya sadar bahwa pendidikan sering berpihak pada yang sudah punya segalanya.

Maria mulai menulis—tentang guru-guru di pelosok, anak-anak yang berhenti sekolah, dan mimpi-mimpi yang layu karena kemiskinan. Tulisan-tulisannya dikirim ke surat kabar lokal dan beberapa kali dimuat. Ia belajar bahwa kata-kata bisa menjadi senjata paling halus untuk melawan ketidakadilan.

Hingga suatu hari, setelah menyelesaikan studi sarjana dengan predikat terbaik, sebuah surat elektronik datang: “Congratulations! You have been accepted to the Master of Education Program at Harvard University.” Maria terdiam lama.

Harvard. Kata itu terasa seperti nama planet asing. Namun ayahnya hanya tersenyum dan berkata,“Kalau jagung bisa tumbuh di tanah kering, harapanmu juga bisa tumbuh di tanah mana pun.” Maka, dengan koper kecil dan doa panjang, ia berangkat menembus langit baru.

Musim gugur pertamanya di Boston menjadi ujian batin. Ia berjalan di bawah daun-daun maple yang berjatuhan, memikirkan perjalanannya dari desa kecil tanpa listrik ke kampus dengan laboratorium digital dan perpustakaan tanpa batas. Teman-temannya berbicara tentang learning analytics dan AI in education, sementara ia masih memikirkan sekolah di desanya yang bahkan tak memiliki proyektor.

Suatu malam ia menulis dalam buku hariannya: “Apakah belajar di sini berarti aku harus melupakan mereka yang masih berjalan di tanah berlumpur itu?”

Pertanyaan itu menjadi pusat refleksinya selama dua tahun. Disertasinya untuk gelar Magister ia beri judul: “Humanisasi Pendidikan di Wilayah Tertinggal.” Ia menulis bukan untuk Harvard, tapi untuk desanya. Setiap kalimatnya adalah bentuk pulang dalam diam.

“Pendidikan yang sejati,” tulisnya, “bukan tentang seberapa tinggi kita menapak, tetapi seberapa dalam kita kembali menjejak.”

Hari kelulusannya tiba. Aula Harvard bergemuruh ketika namanya disebut: “Maria, Master of Education.” Ia menatap toga merah marun di tubuhnya. Air matanya menetes — bukan karena bangga semata, tapi karena sadar, ia telah membawa nama kecil dari desa yang bahkan tidak ada di peta dunia.

Malam itu ia berdiri di halaman kampus, menatap langit Harvard yang biru keperakan. Ia tersenyum — langit itu sama seperti langit di desanya, hanya lebih dingin.

Beberapa bulan kemudian, Maria kembali ke Nusa Tenggara Timur. Ia menolak tawaran kerja di Jakarta. Di kampung halamannya, ia mendirikan “Rumah Belajar Langit Timur.” Sekolah kecil itu tidak megah, tapi setiap anak yang datang membawa api kecil di matanya.

Setiap kali Maria mengajar, ia memulai pelajaran dengan kalimat yang dulu pernah menjatuhkannya: “Anak petani tidak mungkin sampai Harvard.” Lalu ia tersenyum dan berkata lembut: “Tapi siapa bilang kalian tidak bisa lebih jauh dari itu?”

Catatan Penulis

Kisah Maria ini hanyalah fiktif dan imajinasi semata. Kisah ini tidak sekadar menampilkan kisah sukses; ia lahir dari refleksi sosial tentang makna pendidikan. Di satu sisi, ia membuktikan bahwa ketekunan bisa menembus batas; di sisi lain, ia mengingatkan bahwa pendidikan tanpa keberpihakan pada yang lemah hanya akan melahirkan kesenjangan baru.

 

Example floating

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Di puncak bukit Golgota, terik mentari membakar kulit…