Di sebuah desa kecil di pesisir Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Maria memandang matahari terbit yang menyoroti langit biru dengan semburat merah muda.
Hari itu, seperti setiap tahun, adalah hari yang penuh makna. Paskah. Sebuah hari yang mengingatkan semua orang tentang kebangkitan, bukan hanya dari kematian, tetapi juga kebangkitan harapan dan kasih.
Maria, yang kini berusia dua puluh tiga tahun, mengenang masa kecilnya. Setiap Paskah, keluarganya selalu merayakan dengan sederhana namun penuh kehangatan.
Ayahnya, seorang nelayan yang bekerja keras di laut, dan ibunya, yang selalu tersenyum meski hidup mereka jauh dari mewah, selalu mengajarkan arti sejati dari Paskah.
“Apa yang kita rayakan, Maria?” tanya ibunya setiap kali mereka berkumpul di meja makan. “Kebangkitan Tuhan,” jawab Maria kecil dengan penuh semangat.
“Tapi Paskah juga tentang bagaimana kita membangkitkan kasih dan harapan bagi orang lain, Nak. Jangan hanya berpikir tentang diri sendiri,” kata ibunya sambil menatap Maria dengan penuh makna.
Hari ini, Maria sudah dewasa. Namun, tradisi keluarga itu tetap melekat kuat di hatinya. Meski segala sesuatu tampak serba cukup, ia merasa ada yang kurang.
Paskah seharusnya lebih dari sekadar makan bersama atau pergi ke gereja. Ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu ia lakukan, sesuatu yang dapat memberikan cahaya kepada mereka yang sedang dalam kegelapan.
Setelah mengikuti misa pagi di gereja yang sederhana namun penuh hikmat, Maria berjalan sendirian menyusuri jalanan Kupang. Di sekitar pasar, di bawah rimbun pohon, dia melihat sekelompok orang tua yang duduk di bawah tenda sederhana, wajah mereka lelah, dan mata mereka penuh keresahan.
Mereka adalah para tuna wisma dan mereka yang hidup di pinggiran kota, terabaikan oleh dunia yang sibuk mengejar kemewahan.
“Apakah ini yang dimaksudkan ibuku tentang Paskah?” gumam Maria dalam hati. “Apakah kebangkitan itu hanya untuk mereka yang punya banyak, atau untuk semua orang?”
Dengan tekad yang bulat, Maria pulang ke rumah dan menemui ayah dan ibunya. Ia berkata, “Aku ingin berbagi kasih pada mereka yang membutuhkan, seperti yang diajarkan ibu. Paskah ini, mari kita lakukan sesuatu yang berbeda.”
Ayahnya menatap Maria dengan mata penuh kebanggaan. “Kau benar, Nak. Paskah adalah tentang memberi, bukan hanya untuk diri kita sendiri.”
Bersama keluarganya, Maria mempersiapkan paket-paket makanan yang sederhana namun penuh arti. Ada ikan bakar khas Kupang, nasi, dan beberapa buah segar. Mereka memasukkan semua itu ke dalam kantong-kantong besar dan mulai berjalan menuju jalanan kota.
Ketika mereka sampai di tempat-tempat yang ramai oleh mereka yang terlupakan, Maria bisa melihat senyum di wajah-wajah yang tampaknya sudah lama kehilangan harapan. Sebuah senyum yang tulus, sebuah terima kasih yang sederhana, namun membawa kebahagiaan luar biasa bagi hati Maria.
Paskah kali ini, jauh lebih bermakna daripada sekadar tradisi. Ada sesuatu yang lebih besar—keberanian untuk membawa cahaya ke dalam kehidupan mereka yang paling membutuhkan. Saat malam tiba, Maria berdiri di tepi pantai, memandang langit yang mulai dipenuhi bintang.
Laut Timor yang luas seolah mencerminkan kedamaian yang ada dalam dirinya. Dalam hatinya, Maria tahu bahwa Paskah kali ini memberi makna yang lebih mendalam—bukan hanya tentang kebangkitan Yesus, tetapi juga tentang kebangkitan kasih yang bisa dilakukan oleh siapa saja, dimulai dari hal-hal kecil yang penuh arti.
“Semoga setiap langkah kita membawa cahaya bagi mereka yang sedang dalam kegelapan,” bisik Maria, sambil menatap langit yang semakin gelap, dengan hati yang dipenuhi rasa syukur.
Paskah kali ini, di Kupang, Nusa Tenggara Timur, bagi Maria, adalah Paskah yang penuh Cahaya-cahaya yang ia bawa bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk dunia di sekitarnya.