WartaSAj|| Dalam pembicaraan tentang “ada” Thomas Nagel coba mengangkat dan membahas sebuah pandangan yang cukup radikal, yakni pandangan solipsisme. Solipsisme merupakan pandangan tentang pribadi yang secara total sendirian. Dalam pandangan ini “pikiran” diakui sebagai satu-satunya hal yang ada, sedangkan segala hal lain merupakan imaji atau sesuatu yang dibayangkan dalam pikiran. Dasar dari pandang solipsisme ini adalah bahwa segala penjelasan dan pembuktian tentang sesuatu selalu dimulai dari pikiran. Di sini tampak bahwa manusia tidak memiliki pijakan apa pun yang dapat memberi kepastian, kecuali isi pikiran manusia itu sendiri. sehingga dalam konteks pandangan solipsisme, satu-satunya hal yang diyakini ada adalah pikiran saja.
Ada beberapa tanggapan yang bisa diberikan terhadap pandangan solipsisme ini. Pertama dalam pandangan solipsisme diakui bahwa pikiran adalah satu-satunya hal yang ada, sedangkan yang lain hanyalah imaji. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menjelaskan sebuah pengetahuan yang kita dapat, hanya setelah kita melihat atau mengindrai sesuatu itu? Sebagai contoh kita mengetahui bentuk alat musik sasando hanya setelah kita melihatnya. Jika segala hal yang ada di luar pikiran merupakan hasil imaji semata, tentu kita dapat mengetahui sesuatu tanpa harus mengindrainya terlebih dahulu.
Kedua, jika dunia fisik hanyalah sebuah bayangan dalam pikiran, lalu mengapa ada kekeliruan? Bukankah kekeliruan terjadi ketika hal yang kita pikirkan atau katakan berbeda atau tidak sesuai dengan realitas? Konsekuensinya jelas jika realitas tidak ada, otomatis kekeliruan juga tidak akan terjadi. Namun kenyataan menunjukan bahwa kekeliruan ada, jadi bisa disimpulkan bahwa realitas di luar pikiran juga ada.
Ketiga, berkaitan dengan pengalaman penderitaan. Pada umumnya, manusia tidak ingin mengalami penderitaan misalnya berupa musibah, maka jelas jika pengalaman hanya merupakan imaji, manusia tentunya dapat mengatur agar dia hanya mengalami pengalaman yang menyenangkan dan menghilangkan musibah dalam hidupnya. Namun dalam kenyataannyasekalipun manusia menolak hadirnya musibah, tetap saja pengalaman itu hadir dalam kehidupan manusia. Manusia tidak dapat mengontrol datang dan perginya musibah. Hal ini jelas terjadi karena musibah merupakan realitas yang ada di luar pikiran.
Bertolak dari beberapa tanggapan di atas, Penulis meyakini bahwa yang ada bukanlah pikiran semata, sebab realitas di luar pikiran juga merupakan hal yang benar-benar ada. Realitas di luar pikiran itu bukan merupakan imaji semata, tetapi dia nyata dan ada.